Pembantaian orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI) dan terduga PKI mulai akhir 1965, terjadi di banyak daerah. Bengawan Solo Bojonegoro jadi saksi. Mayat-mayat mengalir di sungai ini.
BOJONEGORORAYA – Sungai Bengawan Solo yang melintasi Kabupaten Bojonegoro, menjadi saksi fenomena genosida yang bermula dari peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau G30S di Jakarta tersebut.
Tengaranya, para anggota PKI dan tercap PKI yang dibunuh pada waktu itu, jasadnya dibuang si pembunuh di Bengawan Solo. Jasad mereka pun mengambang dan mengalir di sungai itu.
Samijah, warga Kelurahan Ledok Kulon, Kecamatan/Kabupaten Bojonegoro yang tinggal di tepi Bengawan Solo mengatakan, dirinya menyaksikan mayat-mayat di Bengawan Solo itu.
“Saat itu saya masih remaja,” ujarnya saat ditemui Bojonegoro Raya, Selasa (1/10/2024) siang.
Seingat Samijah, mayat-mayat itu marak terapung tak karuan di Bengawan Solo dekat rumahnya mulai November 1965. Saat itu kemarau. Bengawan Solo menciut atau aliran airnya tak besar.
“Jadi, mayat-mayat yang mengambang di Bengawan Solo itu terlihat jelas. Bisa dilihat dari dekat,” jelasnya.
Mayat-mayat orang PKI yang terapung-apung atau mengambang di Bengawan Solo dekat rumahnya, ungkap dia, seperti pohon pisang dan mengalir ke timur atau hilir, mengikuti arus Bengawan Solo.
“Mayat-mayat itu rata-rata laki-laki dan bertelanjang dada. Jarang sekali mayat yang perempuan,” terangnya.
Mayat-mayat itu, lanjut perempuan kelahiran 1945 ini, paling banyak muncul saban pagi hari. Jumlahnya tak terhitung. Mayat-mayat terus menerus muncul dari barat atau hulu.
“Tak ada yang berani mengambil lalu menguburkan mayat-mayat itu. Warga sini membiarkan saja,” imbuhnya.
Lain kengerian di Bengawan Solo itu, lanjut lansia yang kini membuka warung kopi di tepi Bengawan Solo Kelurahan Ledok Kulon ini, kampungnya juga dicekam kengerian saban malam.
“Habis maghrib, orang-orang sini menutup pintu rumah. Kalau ngomong harus berbisik-bisik,” tuturnya.
Cukup sering, lanjut Samijah, setiap lepas isya dirinya melihat segerombol orang membawa satu atau dua tetangganya. Pemandangan itu dia lihat dari dalam rumah. Melalui celah-celah.
“Segerombol orang membawa tetangga-tetangga itu berpakaian hitam, bersarung, ada juga bersorban,” imbuhnya.
Setelah tetangga-tetangga itu dibawa segerombol orang tersebut, kata Samijah, tetangga-tetangganya tersebut tak pernah kembali pulang ke rumah. Ada yang bilang, tetangga-tetangga itu disembelih.
“Tapi saya tak pernah menyaksikan (penyembelihan, red). Saya tak boleh keluar rumah malam hari,” terangnya.
Adapun, ungkap dia, tetangga-tetangga dibawa segerombol orang itu rata-rata merupakan para seniman. Mereka sering terlihat tampil dalam pertunjukan ludruk, wayang orang, atau sandur.
“Yang dibawa, seingat saya laki-laki semua. Tak ada perempuan. Kata bapak, mereka orang-orang Lekra,” tuturnya.
Samijah mafhum akan hal itu. Di kampungnya memang banyak orang-orang Lekra atau Lembaga Kebudayaan Rakyat, underbouw PKI. Sebab, Kelurahan Ledok Kulon merupakan kampung seni.
“Mulai ludruk, wayang orang, dan sandur ada hidup di kampung (Kelurahan Ledok Kulon, red) ini,” jelasnya.
Moch. Basri, warga Kelurahan Ledok Kulon lainnya menceritakan hal serupa terkait mayat-mayat orang-orang PKI dan terduga PKI di Bengawan Solo setempat. Mayat-mayat itu, tambah dia, rerata tak utuh.
“Seingat saya, rerata mayat-mayat itu tidak ada kepalanya,” jelas lelaki berusia 72 tahun ini.
Pria yang pada akhir 1965 berusia remaja itu meneruskan, mayat-mayat itu tak ada yang dikenali warga setempat. Sebab itu, mayat-mayat itu dibiarkan mengapung dan mengalir di Bengawan Solo.
Terkait sejumlah warga Kelurahan Ledok Kulon yang dibawa segerombol orang dan tak pernah kembali ke rumah, Basri sapaannya juga membenarkan dan pernah menyaksikan hal tersebut.
“Kata bapak, orang-orang itu kemudian dibawa ke tepi Bengawan Solo untuk disembelih, lalu dibuang ke Bengawan Solo,” tuturnya.
Namun, kata dia, tak semua orang-orang dibawa itu langsung disembelih di tepi Bengawan Solo. Orang-orang yang dibawa dan langsung disembelih dimaksud, hanya yang tokoh-tokoh.
“Yang orang biasa, dibawa ke Gudang Tembakau Kelurahan Ledok Wetan. Sekarang namanya Gedung Serbaguna,” ungkapnya.
Dari Gudang Tembakau itu, lanjut dia, orang-orang tersebut lalu diangkut menggunakan truk-truk tentara ke hutan turut Kecamatan Dander, Kabupaten Bojonegoro.
“Katanya, mereka dibunuh di hutan itu. Ada lubang besar di hutan itu untuk membuang-mengubur jasad mereka,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Basri mengemukakan, rerata orang-orang Kelurahan Ledok Kulon yang menjadi korban G30S merupakan warga Kelurahan Ledok Kulon pinggiran. Atau, di tepi Bengawan Solo.
“Wilayah itu disebut-sebut sebagai basis PKI dan sedikit PNI (Partai Nasional Indonesia, red),” terangnya.
Kelurahan Ledok Kulon bagian tengah, ungkap dia, disebut-sebut basisnya Partai Masyumi dan Nahdlatul Ulama (NU). Sehingga, warga Kelurahan Ledok Kulon bagian tengah ini tak banyak jadi korban.
“Waktu itu, yang menjadi sasaran kan orang-orang PKI dan ada juga PNI. Tapi yang PNI tidak banyak,” jelasnya.
Lebih dari itu, kata Basri, tak semua orang yang dibawa lalu dibunuh merupakan orang-orang PKI atau underbouw PKI. Sebab, yang dibunuh itu ada juga yang sekadar dituduh ikut PKI.
“Orang yang dituduh PKI, banyak. Namun, ada juga yang selamat dari pembunuhan,” imbuhnya.
Suprapto, salah satu warga Kelurahan Ledok Kulon mengaku bapaknya dituduh sebagai anggota PKI. Beruntung, bapaknya yang pedagang tahu itu tak menjadi korban genosida pasca G30S.
“Justru saya yang menjadi korban. Kalau saya ingat, masih sakit hati saya,” jelas pria akrab disapa Prapto itu.
Pada akhir 1970-an, cerita Prapto, dia mendaftar sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Setelah melalui aneka tes, dia dinyatakan lolos. Namun, pada sensor ke-PKI-an, dia mendapat kendala.
“Saya terdata anak keluarga PKI karena bapak saya dicatat tentara sebagai PKI. Saya pun gagal jadi PNS,” kecewanya.
Sepulang dari tes PNS itu, kenang Prapto, dia langsung mengadu ke bapaknya. Dia juga menyesalkan bapaknya, mengapa dulu bapaknya itu mau dituduh dan mau dicatat sebagai PKI oleh tentara.
“Bapak saya menjawab, hal itu dilakukan karena terpaksa. Supaya tak ada kejadian tak diinginkan,” jelas Prapto.
Lebih dari itu, Prapto mendapat informasi dari bapaknya bahwa yang mula-mula menuduh bapaknya sebagai PKI waktu itu adalah salah satu perangkat Kelurahan Ledok Kulon.
“Ketika perangkat kelurahan itu meninggal dunia, saya ikut bertakziah di kuburannya bersama orang-orang,” ungkapnya.
Namun, lanjut Prapto, dia punya maksud tak baik terhadap perangkat kelurahan yang sudah wafat itu. Yakni, dia ingin menjejak nisan kuburan si perangkat kelurahan tersebut.
“Saat para petakziah sudah buyar, saya tinggal sendirian. Saya lakukan keinginan itu. Saya jejak nisannya,” terangnya.
Tindakan kurang baik itu, kata Prapto, nekat dilakukan karena dirinya dendam dengan perangkat kelurahan dimaksud. Menurut dia, perangkat kelurahan itu andil besar mengacaukan hidupnya.
“Dia menuduh bapak saya PKI. Saya pun dicap anak PKI dan kehilangan banyak hak. Termasuk hak menjadi PNS,” pungkasnya. (sab/kza)