Pemeras Berkedok Wartawan

14/12/2024
Persepsi - Bojonegoro Raya

Oleh: Bambang Yulianto*
Jurnalis Metro TV, Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bojonegoro

OMBAK menerjang profesi wartawan. Menyedihkan dan mencoreng nama baik profesi kuli tinta tersebut.

Hampir bersamaan di Bojonegoro dan Tuban, dalam dua bulan ini terdapat kasus hukum mencatut profesi wartawan. Pemeras berkedok wartawan.

Pertama, perselisihan berujung pembacokan di lokasi tambang galian C wilayah hukum Polres Tuban. Korban pembacokan mengaku wartawan.

Kedua, dua pria parohbaya diringkus aparat di wilayah hukum Polres Bojonegoro. Keduanya dilaporkan memeras rekanan atau kontraktor.

Dari dua pria ditangkap itu, salah satunya juga mengaku wartawan. Entah iya atau hanya mengaku-ngaku saja. Butuh penyelidikan.

Dari dua perkara mengarah ke tindakan kriminal itu, penulis berasumsi dan berkesimpulan ada indikasi ketidakberesan di baliknya.

Terjadi atau dilakukan kedua belah pihak yang terlibat. Baik itu pengusaha tambang, kontraktor, maupun para pengaku wartawan itu sendiri.

Ada benang kusut harus diurai. Ada sengkarut harus ditangani aparat. Ada permainan harus dituntaskan, sesuai undang-undang berlaku.

Tentu, tidak ada impunitas terhadap pelanggar undang-undang. Semua warga sejajar di hadapan hukum. Tidak berbeda. Berderajat sama.

Benang hitam adanya para pengaku wartawan meresahkan dan memeras, acapkali bersiul dari para aparatur negara hingga perangkat desa.

Kontraktor mengerjakan proyek fisik juga kerap didatangi pemeras berkedok wartawan. Mula-mula bertanya. Lalu memeras secara halus atau kasar.

Mengacu dua perkara itu lagi, ketidakberesan perusahaan tambang mungkin soal perizinan. Terutama izin amdal maupun lainnya.

Sedangkan perkara di Bojonegoro, ketidakberesan kontraktor cukup kentara. Sebab, sudah terjadi transaksi antara kontraktor dan pengaku wartawan.

Adanya transaksi itu menguatkan dugaan ketidakberesan kontraktor dalam mengerjakan proyek. Dia mungkin keliru. Berbuat tidak sesuai. Takut.

Baca Juga :  Sandy Mahasiswa Bojonegoro Nyambi Driver Ojol, Tidak Resah Biaya Kuliah

Butuh sikap tegas aparat penegak hukum (APH). Jika mampu demikian, dugaan kelancungan para pengusaha tambang maupun kontraktor bisa diminimalisir.

Sudah wajib perusahaan tambang atau kontraktor tidak membikin “lubang-lubang”. Artinya, kinerja mereka harus terukur. Tepat. Sesuai regulasi.

Terutama kontraktor, jangan serampangan menggarap proyek. Kontraktor wajib mengerjakan proyek berkualitas. Sesuai rencana anggaran biaya (RAB).

Kontraktor jangan sebaliknya. Malulah memainkan material hingga mengurangi kualitas proyek demi keuntungan. Itu pundi cuan yang menyangsikan.

Jika kontraktor dan perusahaan tambang bekerja sesuai aturan, tentu tidak ada celah bagi para pemeras berkedok wartawan yang tidak tahu malu itu.

Dewan Pers Harus Bersikap Tegas

Sikap tegas perlu dilakukan Dewan Pers. Lembaga negara berkewenangan khusus itu harus mampu menuntaskan media-media yang wartawannya gemar main pidana.

Kita tahu, media yang tumbuh sonder legalitas serta sumber daya manusia (SDM) berkompeten merupakan liang kelahiran “pemeras-pemeras” itu.

Terang, memberantas media-media macam tersebut merupakan pekerjaan rumah Dewan Pers. Penyalahgunaan media dan profesi wartawan sudah kelewat marak.

Filter dan ketegasan kebijakan Dewan Pers amat diperlukan. Jika dibiarkan atau tidak menjadi isu utama, media abal-abal itu akan terus menjamur. Subur.

Tentu miris. Para pengaku wartawan yang jelas tidak kompeten itu menggunakan label media sebagai tameng dalam melakukan pemerasan atau kriminal lainnya.

“Itu sebuah itikad buruk. Menodai wajah pers Indonesia.”

Padahal, betapa sulit wartawan asli melahirkan berita. Butuh waktu mencari referensi. Butuh tenaga-biaya liputan. Cek dan ricek. Butuh riset atau kajian ilmiah.

Setiap hari, masyarakat pengguna smartphone membaca berita media-media online. Atau, di rumah menonton televisi menampilkan tajuk-tajuk berita update.

Atau juga, membaca koran bagi mereka yang berlangganan. Betapa berharganya berita. Ditulis secara cermat dengan angle akurat. Tanpa salah ketik.

Baca Juga :  Investor Pabrik Bioetanol Bojonegoro Tunggu Kepastian, Kadin Optimistis, Walhi Ingatkan Dampak Lingkungan

Jurnalisme pilar keempat demokrasi. Istilahnya Fourth Estate sejak abad 18. Jurnalisme mengontrol pemerintah, kala dia menyimpang dari etika dan aturan.

Dari berbagai referensi, kerja jurnalistik sama sekali tidak berhubungan dengan suap dan pemerasan. Keduanya dua kutub berbeda. Jauh terpisahkan.

Jika ada wartawan meminta suap dan memeras, wajib diproses pidana oleh kepolisian. Itu pelanggaran berat. Menyalahi khittah profesi jurnalis.

Sebaliknya, jika terdapat sengketa atau pengaduan dalam kerja-kerja jurnalistik, ada jalur-jalur tersendiri untuk menyelesaikan sengketa pers itu.

Berdasar data Dewan Pers, pengaduan sengketa pers ke dewan itu masih marak. Sepanjang Januari-Juni 2024 ada 320 pengaduan, sebanyak 221 selesai.

Angka itu diprediksi meningkat. Sebab 2024 ini belum berakhir. Masih banyak sengketa pers berpotensi terjadi. Beraneka bentuk. Macam-macam wujudnya.

Pada 2023, ada 813 pengaduan sengketa pers diterima Dewan Pers, sebanyak 794 selesai. Pada 2022 ada 691 sengketa pers, sebanyak 663 selesai.

Lebih lama, pada 2021 ada 774 pengaduan sengketa pers, sebanyak 681 selesai. Lalu pada 2020 ada 567 sengketa pers, sebanyak 479 selesai.

Mengacu Kode Etik Jurnalistik pasal 2, wartawan harus menggunakan cara-cara profesional dalam melangsungkan tugas-tugas jurnalistik.

Meliputi berita tidak plagiat. Tidak menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri. Tidak menerima suap. Menghormati hak privasi.

Pasal 6 mewanti-wanti wartawan tidak menyalahgunakan profesi. Tidak menerima suap. Pasal 9 menjabarkan wartawan harus menghormati hak narasumber.

“Tidak perlu mengakses kehidupan pribadi narasumber. Kecuali demi kepentingan publik.”

Kata Heruthahjo Soewardojo dalam buku Mengadu(kan) Pers: Kumpulan Untold Story Penanganan Pengaduan di Dewan Pers, jumlah pengaduan pers meningkat tiap tahun.

Tingginya angka pengaduan masyarakat ke Dewan Pers tersebut disebabkan masyarakat sudah cukup literat perihal media pers serta wewenang Dewan Pers.

Baca Juga :  Siswa-siswi SDN di Bojonegoro Terdampak Polusi Asap Pabrik Tembakau, Memakai Masker dan Sesak Napas saat Ujian

Di sisi lain, sejak 9 Februari 2012 Dewan Pers-Polri telah menyepakati nota kesepahaman penyelesaian sengketa pers sesuai UU Nomor 40 Tahun 1999.

Nota kesepahaman itu menegaskan, siapa pun merasa dirugikan pemberitaan pers semestinya mengadukan ke Dewan Pers. Bukan ke kepolisian.

Lihat. Arus informasi kini menderas. Kebebasan pers berbuah tsunami informasi. Siapa saja bisa serampangan membikin media. Juga memproduksi berita.

Padahal, proses jurnalistik tidak seremeh itu. Siapa pun hendak mendirikan perusahaan pers harus paham regulasi perusahaan pers. Tahu jurnalistik.

Wartawan pun harus lulus uji kompetensi. Media harus lulus verifikasi. Nama wartawan bersertifikasi dapat dilihat di laman Dewan Pers. Buka di sini.

Pun, media lulus verifikasi juga bisa dipantau di laman Dewan Pers itu. Semuanya cukup transparan. Terbuka menjadi pengetahuan. (*)

Go toTop