Ekspedisi Titik Nol Pabrik Bioetanol (1)

Calon Lokasi Pabrik Bioetanol Bojonegoro Sudah Dicek, Bukan Di Gayam, Investor Incar 236 Hektare Kawasan Hutan

Lokasi Pabrik Bioetanol Bojonegoro - Bojonegoro Raya
DIINCAR: Salah satu petak kawasan hutan RPH Sawitrejo yang dimohon investor untuk pendirian pabrik bioetanol. (Foto: Yusab Alfa Ziqin/Bojonegoro Raya)

Megainvestasi akan masuk Bojonegoro. Sebuah pabrik bioetanol. Rencana sudah digemborkan. Pemeriksaan lapangan telah dilakukan. Mengincar 236 hektare kawasan hutan. Bukan di Kecamatan Gayam. Kini tinggal menunggu persetujuan.

BOJONEGORORAYA – Mendung bergulung di langit perkotaan Bojonegoro, Senin (2/12/2024) sore. Angin sepoi. Teduh. Daun-daun pohon penghijauan berjatuhan. Di waktu sama, nun jauh di Jakarta Selatan, Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadahlia mengejutkan masyarakat Bojonegoro.

Dia mengenakan kemeja putih berbalut jas hitam sedang diwawancara sejumlah awak media di Kompleks Gedung Parlemen DPR-MPR RI Senayan. Dalam wawancara itu, menteri juga Ketua Umum Partai Golkar itu menyebut diksi Bojonegoro. Dia menyatakan akan ada pabrik bioetanol di Bojonegoro.

Bahlil sapaannya mengemukakan, pabrik bioetanol di Bojonegoro rencananya dibangun mulai 2025 mendatang. Nilai investasinya USD 1-1,2 miliar. Jika dirupiahkan setara Rp 19 triliun. Fantastis. Bila dikalkulasi, angka investasi tersebut hampir menyamai APBD Bojonegoro selama tiga tahun.

Apa dinyatakan Menteri ESDM pernah menjadi Menteri Investasi itu kemudian diberitakan banyak media dan sampai ke Bojonegoro secara online. Dibaca, dibahas, mengejutkan, memicu beragam harapan, hingga memantik berbagai spekulan masyarakat Bojonegoro.

Tentu, Bojonegoro Raya juga tertarik dengan pernyataan Bahlil perihal rencana pendirian pabrik bioetanaol di Bojonegoro tersebut. Namun, tanpa keterkejutan berlebih. Sebab, rencana pendirian pabrik bioetanol di Bojonegoro itu sesungguhnya sudah bergulir sejak 2022.

Bahkan, rencana dimaksud sudah dipublikasi resmi Pemerintah RI melalui laman Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Lihat di sini. Tajuknya Industri Bioetanol. Publikasi tertanggal 12 Juni 2023.

Beberapa informasi primer publikasi itu di antaranya, pabrik bioetanol akan didirikan di Kecamatan Gayam, Bojonegoro. Di atas lahan milik Perum Perhutani atau warga. Luasnya 10 hektare. Bahan baku bioetanol dari jagung. Lahan untuk perkebunan jagung mencapai 30.000 hektare.

Ketika beroperasi, pabrik bioetanol itu diproyeksi menyerap 150 tenaga kerja. Menghasilkan bioetanol 100.000 ton per tahun. Hasil sampingnya distililers oried grains with solulubles (DDGS) atau sisa fermentasi jagung 29.000 ton per tahun, untuk pakan ternak.

Bojonegoro Raya kemudian mendalami informasi ditampilkan di laman Kementerian Investasi/BKPM tersebut. Mengumpulkan data, mewawancarai sekian narasumber. Hasilnya, informasi seputar rencana pendirian pabrik bioetanol itu mengalami perubahan cukup mendasar.

Di antaranya, pabrik bioetanol itu tidak akan didirikan di Kecamatan Gayam, Bojonegoro. Melainkan, di kawasan hutan masuk wilayah RPH Sawitrejo, BKPH Clangap, KPH Perhutani Bojonegoro. Administrasinya masuk Desa Bandungrejo, Kecamatan Ngasem, Bojonegoro.

Adapun, investor akan menggarap-mengoperasikan pabrik bioetanol itu PT Butonas Petrochemical Indonesia. Berkantor di Treasury Tower Lantai 18, Kawasan SCBD Senayan, Jakarta Selatan. Direkturnya Bahrul Karim. Presiden Dikrekturnya Ignatius Tallulembang.

Perbedaan lokasi dan siapa investor pabrik bioetanol dimaksud termuat dalam Berita Acara (BA) nomor 37/BAPL/PLPS.KH/123.2/2024. Disusun Tim Pemeriksaan Lapangan Permohanan Pertimbangan Teknis perihal rencana pendirian pabrik bioetanol di Bojonegoro. Diparaf 24 pejabat/pegawai dari 12 instansi/lembaga berbeda selaku anggota tim.

Dalam BA bertanggal 13 Agustus 2024 itu, dikemukakan bahwa untuk membangun pabrik bioetanol di Bojonegoro, PT Butonas Petrochemical Indonesia mengincar dan memohon Pelepasan Kawasan Hutan di kawasan RPH Sawitrejo.

Luas kawasan hutan dimohon PT Butonas Petrochemical Indonesia untuk dilepaskan itu 236 hektare. Seluas 42,2 hektare berada pada areal Perjanjian Kerja Sama Penggunaan Lahan Hutan untuk Budidaya Tebu antara Perum Perhutani dengan PT Wahyu Daya Mandiri.

Baca Juga :  Sandy Mahasiswa Bojonegoro Nyambi Driver Ojol, Tidak Resah Biaya Kuliah

Sisanya seluas 188,2 hektare, dianggap klir. Tidak berada pada areal perizinan atau kerja sama antara Perum Perhutani dengan pihak mana pun. Secara umum, kawasan hutan seluas 236 hektare itu kini tertanami pohon jati, mahoni, trembesi, sengon, kayu putih, jagung, dan aneka tanaman produktif lainnya.

Dalam BA, Pelepasan Kawasan Hutan dimohonkan PT Butonas Petrochemical Indonesia tidak mendapat rekomendasi mutlak. Tim hanya merekomendasi Pelepasan Kawasan Hutan RPH Sawitrejo dengan luas sekitar 130 hektare. Tidak sampai 236 hektare sebagaimana permohonan.

Salah satu pegawai Perum Perhutani membenarkan adanya kegiatan sesuai BA 37/BAPL/PLPS.KH/123.2/2024 tertanggal 13 Agustus 2024 dan diparaf oleh 24 pejabat/pegawai dari 12 instansi/lembaga berbeda itu. Pemaraf BA di antaranya dari KPH Perhutani Bojonegoro.

Pegawai Perum Perhutani meminta tidak dibuka identitasnya itu juga mengonfirmasi, segenap informasi dalam BA tersebut seluruhnya benar. Tidak ada misinformasi atau hoaks. Sudah sesuai dengan hasil kegiatan dilakukan tim.

“Benar. Ada kegiatan sesuai BA itu. Isi BA itu juga benar. Sesuai hasil dari kegiatan,” ujarnya saat ditemui Bojonegoro Raya pekan kemarin.

Selain KPH Perhutani Bojonegoro, instansi di Bojonegoro yang pejabat/pegawainya masuk tim dan terlibat kegiatan sebagaimana BA serta memparaf  BA itu adalah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Bojonegoro, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Bojonegoro, dan Dinas PU Penataan Ruang dan Bina Marga Bojonegoro.

“Juga ada pejabat Cabang Dinas Kehutanan Jawa Timur Wilayah Bojonegoro,” imbuhnya.

Kepala Cabang Dinas Kehutanan Jawa Timur Wilayah Bojonegoro Widodo Joko Santoso tidak berkomentar perihal BA dimaksud. Namun, dia membenarkan pabrik bioetanol di Bojonegoro direncanakan berdiri di kawasan hutan RPH Sawitrejo.

“Salah satu kasi (kepala seksi, red) saya yang mengikuti prosesnya,” ujarnya kepada Bojonegoro Raya via pesan Whatsapp, Jumat (6/12/2024) siang.

Salah satu kasi dimaksud Widodo Joko Santoso itu Rizky Firmansyah. Dia Kasi Tata Kelola dan Usaha Kehutanan CDK Jawa Timur Wilayah Bojonegoro. Pria kelahiran 1984 ini masuk tim sebagaimana diterangkan BA 37/BAPL/PLPS.KH/123.2/2024 dan ikut menandatangani BA itu.

“Betul. Saya salah satu anggota tim,” kata Rizky Firmansyah saat dikonfirmasi Bojonegoro Raya melalui sambungan telepon Whatsapp, Jumat (6/12/2024) siang.

Pria akrab disapa Rizky itu meneruskan, PT Butonas Petrochemical Indonesia selaku calon investor pabrik bioetanol di Bojonegoro memang memohon Pelepasan Kawasan Hutan di RPH Sawitrejo seluas 236 hektare.

“Namun, berdasarkan pemeriksaan lapangan, tim hanya merekomendasikan sekitar setengah dari luasan dimohonkan,” terangnya.

Rekomendasi tim itu, lanjut Rizky, berdasar sekian temuan dan analisis di lapangan. Salah satunya, kawasan hutan RPH Sawitrejo dimohon PT Butonas Petrochemical Indonesia ada yang pengelolaannya sudah dikerjasamakan Perum Perhutani dengan pihak lain.

“Kalau kawasan hutan dimohon itu pengelolaannya sudah dikerjasamakan Perum Perhutani dengan pihak lain, itu tentu tidak direkomendasikan tim,” imbuhnya.

Rizky menandaskan, tim sudah mempertimbangkan berbagai aspek dalam merekomendasikan kawasan hutan untuk dilepas sebagaimana dimohon PT Butonas Petrochemical Indonesia. Di antaranya aspek sosial, ekonomi, dan budaya.

“Itu agar pelepasan kawasan hutan juga tidak memantik reaksi negatif masyarakat dan lingkungan sekitar,” jelasnya.

Terkini, rekomendasi tim perihal calon lokasi pabrik bioetanol di RPH Sawitrejo telah dikirim ke Kementerian Kehutanan (Kemenhut). Apakah kawasan hutan RPH Sawitrejo seluas 130 hektar itu bisa dilepas, tergantung kementerian dipimpin Raja Juli Antoni itu. Sebab, kementerian itu yang berwenang menyetujui atau menolak.

PERINGATAN: KPH Perhutani melarang pemanfaatan kawasan hutan RPH Sawitrejo tanpa izin. Di belakangnya, flare Lapangan Gas JTB menyala-berkobar. (Foto: Yusab Alfa Ziqin/Bojonegoro Raya)

Bahan Baku Bukan Jagung, Rencananya Sorgum

Berdasarakan BA 37/BAPL/PLPS.KH/123.2/2024, dari luas lahan direkomendasikan tim seluas 130 hektare, seluas 113,1 hektare digunakan untuk bangunan pabrik bioetanol berikut sarana-prasarana penunjangnya. Sisanya seluas 16,8 hektare untuk lokasi pembibitan atau budidaya sorgum.

Baca Juga :  Siswa-siswi SDN di Bojonegoro Terdampak Polusi Asap Pabrik Tembakau, Memakai Masker dan Sesak Napas saat Ujian

“Sorgum itu nantinya untuk bahan baku bioetanol. Itu menurut presentasi investor (PT Butonas Petrochemical Indonesia, red) waktu itu,” ungkap Kasi Tata Kelola dan Usaha Kehutanan CDK Jawa Timur Wilayah Bojonegoro Rizky Firmansyah kepada Bojonegoro Raya, Jumat (6/12/2024) siang.

Dalam operasinya, Rizky sapaannya meneruskan, PT Butonas Petrochemical Indoensia membutuhkan lahan seluas 15.000 hektare untuk budidaya sorgum sebagai bahan baku bioetanol. Lahan itu bukan di kawasan hutan. Melainkan di lahan-lahan milik masyarakat.

‘’Investor bilang begitu dalam presentasinya. Mereka akan melibatkan masyarakat sekitar untuk budidaya sorgum sebagai bahan baku bioetanol,” imbuhnya.

Salah satu warga Desa Bandungrejo, Kecamatan Ngasem, Bojonegoro Sriyono tahu rencana pendirian pabrik bioetanol di wilayahnya. Dia dapat informasi pabrik bioetanol itu rencananya berdiri di timur pertigaan akses keluar-masuk Lapangan Gas Jambaran Tiung Biru (JTB) dari Desa Bandungrejo.

“Begitu informasinya. Dari orang Perhutani. Benar atau keliru, saya tidak tahu,” kata Sriyono saat ditemui Bojonegoro Raya di lahan hutan belakang kantor RPH Sawitrejo, Sabtu (7/12/2024) sore.

Pria akrab disapa Mbah Dul itu setuju jika pabrik bioetanol berdiri di Desa Bandungrejo. Asalkan proses dan operasionalnya tidak ngawur. Pabrik itu harus bisa menghargai masyarakat sekitar. Sering menebar manfaat kepada masyarakat sekitar dan menyerap tenaga kerja lokal setempat.

“Saya juga dapat informasi bahan baku untuk pabrik itu sorgum. Saya kurang tahu itu. Belum pernah menanam. Katanya mirip jagung. Asal luar negeri,” lanjut pria pesanggem atau petani hutan ini.

Skema Pelepasan Kawasan Hutan, Tak Perlu Tukar Guling

Kepala Sub Seksi Hukum, Kepatuhan, Agraria, dan Komunikasi Perusahaan KPH Perhutani Bojonegoro Sunyoto juga membenarkan adanya BA 37/BAPL/PLPS.KH/123.2/2024 tentang pemeriksaan lapangan rencana pendirian pabrik bioetanol di Bojonegoro oleh PT Butonas Petrochemcal Indonesia.

Dia juga memersiskan, kawasan hutan diincar atau dimohon PT Butonas Petrochemical Indonesia untuk pendirian pabrik bioetanol itu berada tidak jauh dari Lapangan Gas JTB yang dioperatori Pertamina EP Cepu (PEPC) Zona 12 di Desa Bandungrejo, Kecamatan Ngasem, Bojonegoro.

“Lokasi kawasan hutan yang dimohon untuk pabrik bioetanol itu bersebelahan dengan Lapangan Gas JTB,” ungkap Sunyoto saat ditemui Bojonegoro Raya di kantornya, Jumat (6/12/2024) siang.

BATAS: Anak-anak bermain di Jalan Bandungrejo-Gayam, Sabtu (7/12/2024) sore. Jalan itu batas kawasan hutan RPH Sawitrejo dengan Lapangan Gas JTB. (Foto: Yusab Alfa Ziqin/Bojonegoro Raya)

Sunyoto melanjutkan, jika pelepasan kawasan hutan seluas 130 di RPH Sawitrejo untuk pabrik bioetanol itu disetujui Kemenhut, maka kawasan hutan dengan luasan tersebut akan dibuka begitu saja. Tanpa ada tukar guling lahan.

“Investor tidak perlu mencari lahan pengganti di wilayah lain untuk dihutankan. Karena, prosedur yang dipakai adalah Pelepasan Kawasan Hutan,” terangnya.

Terkait adanya potensi deforestasi imbas Pelepasan Kawasan Hutan seluas 130 hektare untuk pendirian pabrik bioetanol itu, KPH Perhutani Bojonegoro tak bisa berbuat banyak. Sebab, pendirian pabrik bioetanol itu program pemerintah pusat. Berlabel Proyek Strategis Nasional (PSN).

Terpisah, Manager Communication, Relations and CID PEPC Rahmat Drajat secara implisit mengemukakan, PEPC tidak mengapa jika pabrik bioetanol berdiri di dekat Lapangan Gas JTB. Pihaknya mendukung kebijakan pemerintah untuk membangun pabrik bioetanol itu sebagai salah satu strategi mengurangi ketergantungan impor.

“Sekaligus sebagai upaya menuju swasembada energi dan mendukung transisi energi bersih,” ujar Rahmat Drajat melalui keterangan tertulis diterima Bojonegoro Raya pada Senin (9/12/2024) pagi.

Jika dalam operasinya pabrik bioetanol itu membutuhkan suplai gas Lapangan Gas JTB, Rahmat sapaannya meneruskan, PEPC siap menindaklanjuti. Prinsipnya, PEPC siap mendukung program pemerintah jika ada ketetapan lebih lanjut terkait alokasi gas Lapangan Gas JTB.

Baca Juga :  Pemeras Berkedok Wartawan

“Lapangan Gas JTB kini telah beroperasi penuh. Mendukung pemenuhan kebutuhan gas industri di Jawa Timur dan Jawa Tengah,” imbuhnya dalam keterangan serupa.

Sesuai alokasi ditetapkan pemerintah, Rahmat mengemukakan, saat ini PEPC tercatat sudah memiliki Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) dengan beberapa pembeli utama. Dua di antaranya, Perusahaan Gas Negara (PGN) dan Petrokimia Gresik (PKG).

ENERGI: Lapangan Gas JTB siap mendukung program pemerintah. Termasuk menyuplai gas untuk operasional pabrik bioetanol di dekatnya. (Foto: Yusab Alfa Ziqin/Bojonegoro Raya)

Kepala Bappeda Belum Tahu, Anggap Urusan Pusat

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Bojonegoro Anwar Mukhtadlo tak lugas berkomentar terkait rencana pendirian pabrik bioetanol ini. Dia mengaku belum tahu banyak terkait hal itu. Menurut dia, juga belum pasti.

“Saya belum tahu (rencana pendirian pabrik bioetanol di Bojonegoro, red). Itu belum pasti. Dan, itu urusannya pemerintah pusat,” ujarnya ditemui Bojonegoro Raya di Lantai 2 Gedung Pemkab Bojonegoro, Jumat (7/12/2024) jelang salat Jumat.

Anwar Mukhtadlo waktu itu mengenakan kemeja batik dominan warna biru dan celana kain warna hitam juga menyatakan, Bappeda Bojonegoro belum terlibat apa-apa terkait rencana pendirian pabrik bioetanol di Bojonegoro.

Bahkan, Tadlo sapaannya mengaku tidak tahu ketika Bojonegoro Raya mengemukakan bahwa dalam BA 37/BAPL/PLPS.KH/123.2/2024 tercatat ada salah satu kepala bidang bappeda ikut pemeriksaan lapangan di kawasan hutan dimohon pendirian pabrik bioetanol dan kepala bidang itu ikut memparaf BA kegiatan tersebut.

“Saya tidak tahu. Dia (kepala bidangnya, red) tidak cerita apa-apa. Kami (Bappeda Bojonegoro, red) belum pernah membahas rencana pendirian pabrik bioetanol,” tandasnya.

Hasil Survei Dominan Setuju, tapi Ada Kekhawatiran Merusak Hutan-Lingkungan

Respon masyarakat Bojonegoro terhadap rencana pendirian pabrik bioetanol itu ternyata beragam. Ada menganggap pendirian pabrik bioetanol berdampak bagus. Menyerap tenaga kerja dan memacu perputaran ekonomi. Ada juga menilai pabrik bioetanol akan merusak hutan dan lingkungan.

Respon masyarakat dimaksud kentara melalui survei sederhana dilangsungkan Bojonegoro Raya sejak Selasa (3/12/2024) siang. Tajuknya Persepsi Masyarakat Terhadap Rencana Pendirian Pabrik Bioetanol di Bojonegoro. Mediumnya kuisioner Google Form. Disebar melalui aplikasi WhatsApp (WA). Responden merupakan warga Bojonegoro.

Hingga survei sederhana itu ditutup Jumat (8/12/2024) malam, total ada 105 responden menjawab. Hasil primernya, 80 persen responden tahu rencana pendirian pabrik bioetanol di Bojonegoro. 50,5 persen tahu dari media pers online; 40 persen dari media sosial (WA, Facebook, Instagram, TikTok); 3,8 persen dari keluarga; 3,8 persen dari tongkrongan.

Berikutnya, 97,1 persen responden setuju dengan rencana pendirian pabrik bioetanol itu. Dan, 75 persen responden setuju karena akan menyerap tenaga kerja lokal. Sekitar 20 persen setuju karena akan mendatangkan banyak investasi peningkat ekonomi. Juga, sekitar 5 persen setuju karena akan menghadirkan bahan bakar ramah lingkungan.

Sementara, ada 2,9 persen responden tidak setuju. Dan, 100 persen dari responden tidak setuju tersebut menilai pabrik bioetanol akan membawa dampak buruk. Seperti merusak hutan dan lingkungan. Hingga menyebut bioetanol mengandung senyawa kimia berbahaya.

Adapun, 105 responden survei sederhana ini 30,5 persen berusia lebih dari 50 tahun; 27,6 persen berusia 40-50 tahun; 22,9 persen berusia 30-40 tahun; 18,1 persen berusia 20-30 tahun; dan 1 persen berusia kurang dari 20 tahun.

Dari 105 responden tersebut, sebanyak 34,3 persen merupakan pekerja swasta; 28,6 persen warga (opsi alternatif); 24,8 persen ASN/PPPK; 10,5 persen pengusaha; 1 persen pelajar; dan 1 persen mahasiswa. (sab/kza)

Go toTop