BOJONEGORORAYA – Daun-daun pohon kayu putih di kawasan hutan RPH Sawitrejo, BKPH Clangap, KPH Perhutani Bojonegoro menghijau. Mulai lebat seiring musim hujan membasahi kawasan Desa Bandungrejo, Kecamatan Ngasem, Bojonegoro.
Tanaman jagung juga mulai trubus di sekitar pohon kayu putih di kawasan hutan itu. Sebuah areal diincar untuk rencana pendirian pabrik bioetanol PT Butonas Petrochemical Indonesia. Sudah ada pemeriksaan lapangannya.
Lapangan Gas Jambaran Tiung Biru (JTB) dioperatori Pertamina EP Cepu (PEPC) menjadi lanskap tersendiri di kawasan hutan RPH Sawitrejo itu. Terlihat megah. Teknologis. Flare-nya menjulang tinggi. Tidak berhenti meludahkan api.
Selama ini, para petani hutan RPH Sawitrejo baru terbiasa dengan jagung dan kayu putih serta Lapangan Gas JTB itu. Masih asing dengan tanaman sorgum, yang rencananya menjadi bahan baku andalan pabrik bioetanol di kawasan hutan setempat.
Sriyono salah satu pesanggem kawasan hutan RPH Sawiterjo mengaku kurang paham sorgum. Dia belum pernah menanam tumbuhan yang rendemennya disebut lebih tinggi ketimbang jagung dan tebu itu.
Warga Desa Bandungrejo, Kecamatan Ngasem, Bojonegoro itu meneruskan, beberapa waktu lalu ada penyuluhan dari KPH Perhutani Bojonegoro terkait sorgum untuk kebutuhan calon pabrik bioetanol.
“Kami (para pesanggem RPH Sawitrejo, red) diundang. Saya datang. Tapi tetap kurang paham seperti apa sorgum itu,” tuturnya ditemui Bojonegoro Raya di lahan garapannya, Sabtu (7/12/2024) sore.
Praktis, pesanggem akrab disapa Mbah Dul ini kurang tahu apakah sorgum cocok ditanam di kawasan hutan RPH Sawitrejo. Yang pasti, sejauh ini kawasan RPH Sawitrejo hanya terbukti cocok ditanami jagung.
“Ditanami tebu kurang cocok. Lihat di sana itu. Batangnya kecil-kecil,” tutur Mbah Dul. Tangannya menunjuk sepetak kebun tebu dekat Lapangan Gas JTB.
Direktur Utama PT Butonas Petrochemical Indonesia Ignatius Talulembang mengatakan, bahan baku bioetanol untuk pabriknya bisa beragam. Pilihannya jagung, tebu, atau sorgum.
Saat disinggung bahan baku rencana pendirian pabrik mendatang? Ignatius mengatakan arahnya ke tanaman sorgum. Hanya, pihaknya urung memastikan. Masih menunggu kajian.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Bojonegoro Helmy Elisabeth membenarkan sejauh ini sorgum memang masih asing bagi petani dan masyarakat Bojonegoro.
Helmy sapaannya mengenang, pada era Bupati Bojonegoro Suyoto dan dia belum masuk DKPP Bojonegoro, wacana pengembangan sorgum pernah mengemuka.
“Coba nanti saya tanyakan apakah wacana (pengembangan sorgum, red) itu terealisasi,’’ imbuhnya saat dihubungi Bojonegoro Raya melalui pesan Whatsapp, Selasa (10/12/2024) siang.
Sepengetahuan Helmy, budidaya atau perkebunan sorgum di Bojonegoro belum ada. Apalagi yang sifatnya intensif dan skalanya luas seperti jagung dan tanaman budidaya lainnya.
“Budidaya sorgum di Bojonegoro belum terlaporkan secara khusus. Setahu saya (budidaya sorgum, red) belum ada,” imbuh eks Kepala Bagian Perekonomian Sekretariat Daerah (Setda) Bojonegoro itu.
Apakah sorgum cocok ditanam di Bojonegoro? Helmy menjawab diplomatis. Menurut perempuan kelahiran 1974 itu, setiap tanaman dapat tumbuh maksimal di lingkungan memadai.
“Terutama tersedia air atau sumber air. Itu kebutuhan dasarnya,” jelas perempuan yang juga pernah menjadi Staf Ahli Bidang Pemerintahan, Hukum, dan Politik Setda Bojonegoro tersebut.
Helmy menyebut ada banyak formula agar suatu tanaman menjadi cocok ditanam di lahan baru. Misalnya jika kebutuhan dasar berupa sumber air tidak tersedia, itu bisa dibuatkan embung.
Bisa juga dibuatkan jaringan pipa dari sumber air menuju lahan baru. Agar lahan baru terjamin ketersediaan airnya. Lain itu, ketidakcocokan tanaman dengan lahan baru bisa diatasi dengan pemupukan berimbang.
“Banyak cara untuk itu (budidaya sorgum di Bojonegoro, red). Terlebih pelaku usaha (pabrik bioetanol, red) adalah korporasi bermodal besar. Semua pasti sudah dipertimbangkan matang,” pungkasnya. (sab/kza)